Kisah Gereja Kristus Tuhan (GKT) berawal lebih dari seabad lalu, bukan dari sebuah bangunan megah, melainkan dari semangat iman para perantau. Pada awal tahun 1900-an, sekelompok pedagang Kristen Tionghoa dari Qian Zhou, Provinsi Fu Jian, China, tiba di Surabaya. Berlatar belakang Presbyterian, mereka datang untuk berdagang, namun hati mereka tetap terpaut pada ibadah. Tanpa adanya gereja Tionghoa saat itu, mereka memulai tradisi sederhana: berkumpul setiap hari Minggu untuk memuji Tuhan.
Benih Iman di Tanah Surabaya Benih iman itu mulai bertunas pada tahun 1909. Dari pertemuan doa sederhana di sebuah rumah tangga, sebuah persekutuan mulai terbentuk. Uniknya, persekutuan ini tidak hanya terdiri dari satu suku, melainkan merangkul beberapa suku Tionghoa seperti Tjwan Tjiu, Hok Kian, hingga Kanton. Pertumbuhan jemaat semakin pesat ketika misi Methodist dari Amerika datang dan turut menjangkau komunitas Tionghoa di Surabaya.
Dari Rumah ke Rumah Ibadah Persekutuan yang terus berkembang ini akhirnya membutuhkan tempat yang tetap. Pada tahun 1911, mereka mulai beribadah di sebuah lokasi di Jalan Kampung Seng, lalu pindah ke Jalan Kembang Jepun 28. Titik balik terjadi pada tahun 1916. Atas prakarsa seorang misionaris Amerika, Rev. Harry Beeron Mansell, bersama jemaat, mereka membeli sebidang tanah di sudut Jalan Bakmi (kini Jalan Samudra). Di sinilah cikal bakal gereja pertama mereka, yang diberi nama Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH), berdiri.
Tumbuh dalam Keberagaman Dialek Keunikan jemaat THKTKH terletak pada keberagaman dialeknya. Pada tahun 1921, sudah ada dua kebaktian dengan bahasa pengantar yang berbeda: satu dalam dialek Hok Kian (Amoy) dan satu lagi dalam dialek Kanton. Setahun kemudian, pada 1922, jemaat dari suku Fuchow-Kuoyu pun memulai kebaktian mereka sendiri. Bahkan, pada tahun 1939, setelah kebangunan rohani yang dipelopori oleh Dr. John Sung, jemaat suku Hin Hwa pun membentuk ibadahnya sendiri. Dalam satu atap, empat dialek berbeda memuji Tuhan yang satu.
Menuju Identitas Resmi Pada 8 Februari 1928, sebuah tonggak sejarah penting ditancapkan. Gereja THKTKH secara resmi didaftarkan kepada pemerintah Hindia Belanda dengan nama Stichting Chineesche Christelijke Kerk Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Gereja Tionghoa di Surabaya. Beberapa tahun kemudian, pada 9 Agustus 1934, gereja-gereja THKTKH di seluruh Jawa Timur, termasuk empat jemaat di Surabaya, bergabung dalam sebuah wadah yang lebih besar bernama THKTKH Klasis Jawa Timur.
Babak Baru: Lahirnya Gereja Kristus Tuhan (GKT) Prahara politik Indonesia pada tahun 1965 membawa dampak besar bagi komunitas Tionghoa, termasuk adanya larangan penggunaan huruf dan nama Tionghoa. Menanggapi situasi ini, dalam sebuah persidangan pada 8-10 Januari 1968, THKTKH Klasis Jawa Timur memutuskan untuk mengganti namanya menjadi nama Indonesia: Gereja Kristus Tuhan (GKT).
Perubahan ini menjadi babak baru yang monumental. Tidak lama kemudian, Sinode GKT secara resmi terbentuk dan diakui oleh pemerintah. Keempat jemaat di gereja pusat pun menyesuaikan namanya menjadi GKT Jemaat Amoy, GKT Jemaat Kanton, GKT Jemaat Fuchow-Kuoyu, dan GKT Jemaat Hin Hwa. Untuk memperkuat landasan teologi Reformed, Sinode GKT mendirikan Institut Teologi Aletheia (ITA) di Lawang pada tahun 1969.
Hingga hari ini, gedung gereja bersejarah di Jalan Samudra masih berdiri kokoh, menjadi saksi bisu perjalanan panjang iman yang dimulai dari sebuah persekutuan dagang. Bangunan ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya, sebuah pengakuan atas nilai sejarahnya yang tak ternilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar